
Edutrend.id – Fenomena rendahnya kemampuan memahami bacaan sempat ramai diperbincangkan di jagat maya. Bahkan mantan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI, Satryo Soemantri Brodjonegoro, turut mengungkap hasil surveinya dalam Indonesia Rector Forum pada 19 Desember 2024 di Studio Grand Metro TV. Survei terhadap 500 perusahaan menunjukkan bahwa banyak lulusan S1 di Indonesia masih kesulitan memahami isi teks secara kritis meskipun secara teknis mampu membaca. Masalah ini menjadi perhatian karena berdampak langsung pada dunia kerja, di mana pemahaman bacaan yang baik sangat dibutuhkan.
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi pada jenjang perguruan tinggi, tetapi juga sudah terlihat sejak pendidikan dasar. Hasil penelitian melalui Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa 70 persen siswa sekolah dasar Indonesia kesulitan memahami teks yang dibaca (Rohmah dkk., 2024). PISA merupakan asesmen yang salah satunya mengukur kemampuan literasi membaca pada siswa berusia 15 tahun. Hal ini menegaskan bahwa lemahnya pemahaman membaca merupakan masalah sistemik yang mencakup berbagai jenjang pendidikan.
Rendahnya kemampuan membaca ini patut menjadi perhatian serius, karena literasi memiliki peran penting dalam pembangunan sumber daya manusia dan pembentukan karakter seseorang. Membaca merupakan bagian utama dari literasi karena mendukung pemahaman informasi. Selain itu, literasi mencakup keterampilan dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan membaca yang baik sangat diperlukan agar seseorang dapat mengakses dan memahami informasi secara efektif.
Dalam dunia pendidikan, literasi menjadi bagian penting dari Kurikulum Merdeka, terutama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Kurikulum ini dirancang untuk meningkatkan keterampilan literasi siswa dengan menekankan aspek berbahasa, bersastra, serta berpikir kritis. Penerapan literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dilakukan dengan memberi kesempatan bagi siswa untuk membaca berbagai format teks serta memahami, mengapresiasi estetika, dan nilai budayanya. Literasi tidak hanya penting dalam dunia pendidikan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Karena literasi mempunyai peran penting dalam membentuk individu yang mampu berkomunikasi secara efektif dalam masyarakat.
Penerapan literasi dalam kurikulum menunjukkan bahwa pemerintah telah memberikan perhatian besar terhadap penguatan budaya literasi di sekolah. Namun, tantangan dalam meningkatkan pemahaman bacaan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Menurut Hardianti (dalam Navida dkk., 2023), literasi membaca dapat diukur melalui lima indikator yaitu kemampuan memahami bacaan, memperoleh informasi dari teks, mendapatkan pengetahuan baru, merefleksikan atau menceritakan isi bacaan, serta menyimpulkan bacaan. Padahal, guru sebenarnya telah mengajarkan siswa cara memahami konteks bacaan, salah satunya melalui materi ide pokok dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Materi ini merupakan salah satu contoh cara untuk memahami konteks bacaan dengan lebih baik. Selain itu, guru sering meminta siswa untuk membaca teks kemudian guru akan mengajukan pertanyaan untuk menguji pemahaman mereka terhadap bacaan tersebut.
Konsep evaluasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia biasanya dilakukan menggunakan tes berbasis teks bacaan. Soal-soal yang ditanyakan biasanya terkait ide pokok, pertanyaan dengan jawaban tersirat, simpulan teks dan lain-lain. Untuk menjawab pertanyaan tersebut siswa tidak hanya sebatas mencari jawaban melainkan perlu memahami teks. Namun, model tes ini memberikan teks bacaan yang berbeda untuk setiap soalnya. Teks tersebut terdiri dari bacaan yang panjang dan jumlahnya terlalu banyak. Akibatnya, siswa menjadi merasa lelah atau malas membaca. Hal ini menyebabkan siswa terburu-buru dalam menjawab soal dengan pemahaman yang seadanya tanpa benar-benar memahami isinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, solusi yang dapat dilakukan adalah mengajarkan teknik atau metode membaca yang efektif kepada siswa. Guru dapat membuat pembelajaran lebih interaktif dengan mengajak siswa berdiskusi setelah membaca. Diskusi ini memungkinkan siswa untuk bertukar pikiran dan memperdalam pemahaman mereka tentang bacaan. Selain itu, guru dapat mengajukan pertanyaan sebelum dan setelah membaca, serta meminta siswa untuk menceritakan kembali isi bacaan dengan kata-kata mereka sendiri. Dengan cara ini, siswa mampu memahami dan mengelola informasi dari teks yang dibaca.
Selain itu, guru non-Bahasa Indonesia juga harus berperan dalam membina kemampuan literasi kritis. Hal ini bisa dilakukan dengan melatih siswa untuk memahami teks dalam berbagai konteks, seperti soal cerita pada pelajaran matematika, teks ilmiah dalam sains, dan teks sejarah. Keterampilan literasi bukan hanya menjadi tugas guru Bahasa Indonesia, tetapi juga merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai dalam semua mata pelajaran. Bantuan dari orang tua juga sangat diperlukan, contohnya dengan membiasakan anak untuk membaca buku di rumah dan mendiskusikannya. Dengan demikian, usaha untuk meningkatkan literasi dapat dilakukan dari dua sisi, yakni sekolah dan rumah.
Literasi bukan hanya sekedar membaca, tetapi memahami konteks dari bacaan. Kemampuan ini sangat kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, ayo tingkatkan literasi kita! Dengan pemahaman yang baik akan mempermudah kehidupan.
Penulis: Ananda Nur A.I.W. (Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta)
